Jakarta – Mantan pemilik Bank Bali, Rudy Ramli memperjuangkan kembali nasib bank yang dulu dia bangun dan kembangkan sebelum akhirnya ‘diambil paksa’ melalui BPPN pada tahun 1999 silam.

Keputusan pengambilalihan Bank Bali tentu bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu satu malam. Peristiwa yang telah terjadi 26 tahun lalu itu diduga sarat akan kejanggalan dan praktik kecurangan melalui kolaborasi antara oknum dalam otoritas moneter dan BPPN yang bekerjasama dengan salah satu Bank Internasional

Dugaan ini bukanlah tuduhan yang mengada-ada, melainkan didukung dengan bukti atau fakta hukum yang memiliki kekuatan hukum, baik hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan maupun Putusan Pengadilan,” tegas Erwin Dicky Renaldi dari Kastara & Partners Law Firm saat ditemui seusai acara Diskusi Publik Mengungkap Kejanggalan Hukum dalam Pengambilalihan (Bank Take Over) Bank Bali di Universitas Muhamadiyah Jakarta, Rabu (26/2/2025).

Erwin Dicky menjelaskan, kasus ini cukup rumit dan terjadi sudah lebih dari seperempat abad yang lalu. Beberapa permasalahan tersebut antara lain proses pemberian kredit antarbank dari Bank Bali ke Bank Tiara, BUN dan BDNI yang sarat tekanan ke Pak Rudy

“Adanya proses pencairan dana Bank Bali sesuai skema penjaminan yang berbelit dan serba tidak jelas, dana pencairan yang menjadi permasalahan hukum karena cessie, Bank Bali sudah berusaha membawa calon investor namun tanpa alasan yang jelas ditolak oleh BPPN, hingga berujung tiba-tiba Bank Bali menjadi Bank Take Over dan di-merger menjadi Bank Permata. Ini kasus yang sangat kompleks,” tuturnya.

Kastara & Partners Law Firm selaku penasehat hukum Rudy Ramli telah menggelar beberapa sesi diskusi publik untuk memperoleh informasi tambahan sekaligus mendapat perspektif dari berbagai pakar terkait kasus ini.

“Dari diskusi publik ini, kami telah mendapatkan informasi dan masukan langkah apa yang bisa kami ambil ke depan dalam memperjuangkan keadilan bagi klien kami,” terang Erwin Disky Rinaldo. SH., MH., dari Kastara & Partners Law Firm.

Terkait kasus Bank Bali ini, Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, SH., MH., (Guru Besar FH UMJ) menyatakan, Bank Bali dinyatakan harus direkapitalisasi dan dalam proses pengambilalihannya dilakukan tanpa proses yang fear dan adil terhadap Bank Bali.

Sehingga menghasilkan Unfair Decision dan timbulnya False Treaty. Kasus Bank Bali adalah kasus yang belum selesai dan masih menjadi misteri terkait proses pengambilalihannya. Dengan adanya keterbukan informasi seperti sekarang, sangat mungkin kasus ini diangkat lagi dan diselesaikan di ranah hukum,” ujarnya.

Lebih lanjut Dr. Ade Adhari, SH., MH. (Pakar Hukum Pidana FH Univ. Tarumanegara) menambahkan beberapa poin penting, “Indikasi kejanggalan dalam kasus Bank Bali terlihat dari adanya penundaan rekapitalisasi yang tidak beralasan, pemaksaan SCB sebagai mitra strategis, kurangnya transparansi dalam negosiasi dengan SCB, serta keputusan BTO yang mendadak tanpa justifikasi yang jelas

Apabila terbukti Ada niat jahat (Mens Rea) untuk merugikan Bank Bali atau menguntungkan pihak tertentu, pejabat terkait dapat dijerat dengan Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Anti Korupsi Indonesia,” katanya.

Terkait kasus Bank Bali ini, Narasumber Suryanto Siyo, SH., MH. (Pakar Hukum Perdata FH Univ. Pancasila) menyatakan, ada tindakan yang mempersulit Bank Bali dalam menagih piutang, tentu ini menciptakan keadaan yang tidak adil bagi Bank Bali.

“Hal tersebut dapat menimbulkan perbuatan melawan hukum khususnya dalam pengambilalihan Bank Bali,” ungkapnya.

Sementara Adhie Massardi selaku Juru Bicara Gus Dur pada tahun 2000 menegaskan, Bank Bali pada awalnya adalah bank yang sehat, kemudian diminta untuk mendonorkan ‘darahnya’ kepada bank-bank lain, lalu Bank Bali mengalami kekurangan darah dan sakit, setelah sakit Bank Bali diambil alih.

“Dengan kata lain, Bank Bali adalah bank sehat yang sengaja dibuat ‘sakit’ dulu untuk dapat diambil alih,” paparnya.

Tindakan tersebut memang terkesan seperti ‘perampokan’, bahkan Gus Dur sendiri pada saat itu juga berusaha membantu Pak Rudy Ramli namun kalah dengan kongkalingkong sejumlah pihak.

Pejabat berlindung di bawah kata ‘Kebijakan atas nama negara’, namun yang menanggung hasil daripada kesalahan kebijakan tetaplah negara, dan pada saat itu seperti itulah oknum dalam BPPN. BPPN seperti dikelola oleh mafioso-mafioso.”

Dalam kesempatan yang sama, Rudy Ramli menyatakan bahwa dirinya hanya ingin keadilan di negeri ini ditegakkan. “Saya sangat paham kasus ini seolah sudah lama berlalu. Butuh waktu bagi saya untuk mengumpulkan keberanian dari tahun ke tahun hingga saya sampai di titik ini.

Saya hanya ingin kejadian yang dialami oleh keluarga besar saya yaitu kehilangan aset berupa bank yang diduga dilakukan oknum-oknum pejabat perbankan, tidak terjadi lagi.” Pungkas Rudy.

By Ari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *