
Caption Foto:
Plt. Direktur Pemanfaatan Kolom Perairan dan Dasar Laut, Didit Eko Prasetyo (kiri) dan Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan (Ditjen PK), Ahmad Aris (tengah) dalam kegiatan Bincang Bahari di Media Center KKP, Rabu (9/7)
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus memperkuat tata kelola perizinan berusaha di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Peraturan ini hadir sebagai penyempurnaan dari PP 5/2021, khususnya dalam konteks penyelenggaraan perizinan di kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, dan wilayah konservasi.
“Dengan diterbitkannya PP ini, pemerintah ingin memastikan bahwa proses perizinan berusaha tidak hanya lebih efisien dan transparan, tetapi juga tetap mempertimbangkan daya dukung dan kelestarian ekosistem pesisir serta pulau-pulau kecil,” kata Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan (Ditjen PK), Ahmad Aris dalam kegiatan Bincang Bahari di Media Center KKP, Rabu (9/7).
Beberapa poin penting dalam PP 28/2025 antara lain adalah pengaturan pra-perizinan dasar untuk pemanfaatan ruang laut, termasuk rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil di bawah 100 kilometer persegi, serta pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi di luar CITES Appendix I.
Selain itu, perizinan usaha kini diintegrasikan dengan sistem KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) serta mensyaratkan dokumen penting seperti Persetujuan KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut), Persetujuan Lingkungan, hingga Izin Bangunan Gedung dari pemerintah daerah. Juga diperluas untuk sektor-sektor strategis seperti pemanfaatan air laut selain energi (ALSE), pengangkatan benda muatan kapal tenggelam (BMKT), produksi garam dan pemanfaatan pasir laut (IPPL), dan biofarmakologi dan bioteknologi kelautan.
“Pendekatan berbasis risiko ini memungkinkan kita memilah jenis usaha yang memerlukan pengawasan ketat dan mana yang bisa difasilitasi lebih cepat. Dengan begitu, kita tetap menjaga keberlanjutan tanpa menghambat investasi,” tambahnya.
Layanan KKPRL Cepat dan Transparan
Sementara itu, Plt. Direktur Pemanfaatan Kolom Perairan dan Dasar Laut, Didit Eko Prasetyo menjelaskan pentingnya penataan ruang laut sebagai bagian integral dari sistem perizinan. Menurutnya, pendekatan reformasi perizinan kini berbasis risiko dan tata ruang, sebagaimana diatur dalam Pasal 47A ayat (2) PP 28/2025.
“Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) kini menjadi instrumen kunci. Kami siapkan skema pelayanan yang lebih transparan, cepat, dan digital, termasuk melalui integrasi sistem OSS dan e-SEA,” ungkap Didit.
Pelayanan perizinan KKPRL kini dapat dilakukan tanpa dipungut biaya pada saat pendaftaran, dan proses penerbitan dapat diselesaikan dalam 33 hari kerja tanpa perbaikan, atau 43 hari bila ada perbaikan dokumen. Fitur seperti verifikasi dokumen otomatis dengan AI dan bridging data OSS juga sedang dikembangkan untuk mempercepat proses.
Dalam pemaparannya, Didit menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi seperti pemahaman teknis pelaku usaha terhadap dokumen spasial, serta urgensi penguatan layanan publik melalui pembukaan gerai perizinan dan integrasi sistem pembayaran PNBP dengan SIMPONI Kemenkeu. Dengan demikian, sosialisasi ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman para pelaku usaha, pemerintah daerah, serta pemangku kepentingan lainnya dalam proses pemanfaatan ruang laut secara legal, transparan, dan berkelanjutan.
Seperti diketahui, pengendalian dan pengawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu dari lima program ekonomi biru yang digagas Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. Program ini untuk melindungi ekosistem pesisir dan pulau pulau kecil terjaga keberlanjutannya.